Detik itu Berharga
Karya : Debby M. Siregar
Kelas XI IPS 1 SMAN 3 Pematang Siantar
Hari masih dini, kegelapan masih melekat di langit. Sabit kuning masih setia berada di tempatnya, belum digantikan oleh si raja siang. Hawa dingin pagi hari cukup membuat setiap insan akan merengkuh diri masing-masing. Disaat hampir seluruh manusia masih pulas dalam mimpi, ada seorang gadis yang sedang berkutat dengan beberapa buku dan sebuah pulpen yang berada dalam genggamannya. Padahal matanya masih tertarik ke bawah, tanda bahwa kantuk sedari tadi menyergapnya.
Tetapi tak ia hiraukan itu. Ada yang lebih penting daripada tidur sekarang. Ia takkan pernah membiarkan dirinya terlelap lagi untuk saat ini, sudah cukup tadi ia memilih untuk tidur. Ini juga ia lakukan karena terdesak saja.
Diam diam di dalam lubuk hatinya, ia cukup menyesali kebodohan dirinya tadi. Namun, jika diingat ingat, ini sudah kesekian kalinya terjadi dan terulang. Si detik itu tidak cukup baginya. 24 jam berjalan sangat singkat dan kilat.
Ia bingung dengan dirinya yang sekarang. Dahulu dirinya tak separah ini. Otaknya juga mulai buntu, karena diperhadapkan dengan soal hitung hitungan. Ini salahnya. Ia membuang pandangannya ke samping kanan, ia muak melihat soal itu. Bahkan otaknya sekarang sedang tidak mampu diajak bekerja sama. Tidak tau karena kantuk atau dikejar waktu. Belum lagi dengan tugas-tugas pelajaran lainnya yang masih belum diselesaikan. Bahkan belum disentuh sama sekali.
Ia melihat lagi soal soal tersebut, dan mencoba untuk berfikir keras. Gagal. Tetap tidak dapat mengerti. Rambut hitamnya yang terikat ia acak asal. Ekspresi wajahnya juga sudah tidak seperti biasanya, selaras dengan perasaannya sekarang. Tangan kanannya mulai mengetuk-etuk permukaan meja belajar dengan pulpennya. Bingung menguasai pikirannya.
“Haduhh! Gimana sih ngerjain ini? Gak ngerti!” kesalnya. Waktu semakin mendekat. Jawaban belum ditemukan. Ia sadari untuk sekian kalinya, ia selalu mengulur waktu. Kala di waktu genting ia akan memulainya. Padahal banyak waktu yang tersisa tadi.
Panggil saja Shea. Tetap berusaha untuk menyelesaikan soal soal tersebut walau masih tak mengerti. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul yang tepat baginya untuk mulai mandi dan segera bersiap-siap. Tetapi Shea masih bersikukuh untuk tidak beranjak dari kursi meja belajarnya. Sebenarnya Shea tau apa akibatnya setelah ini.
“Sheaa!! Kamu belum bangun juga?! Dasar anak pemalas! Bangun dan mandi, cepat! Nanti kesiangan!” seru tak lain dan tak bukan adalah mama Shea, Samira. Mendengar teriakan lantang tersebut, Shea bukannya bergerak untuk mandi. Ia masih berkutat dan mengacuhkan perintah Samira.
BRAK BRAK BRAK. Suara pintu digebuk dengan kuat. Tidak mengetuk lagi. Tampaknya seseorang ingin segera masuk. “Iya ma!! Sabar! Ini aku mau mandi!” teriak Shea dengan kesal. “Hah?! Masih belum mandi juga kamu?! Kamu mau kita terlambat?! Jangan karena kamu, mama dan Tamara akan terlambat juga! Kalau kamu mau lama lama, nanti jalan kaki sendiri!!” Sarkas Samira dari luar pintu kamar Shea.
Dengan kesal setengah mati, Shea akhirnya berjalan menuju kamar mandi dengan kaki dihentak-hentakkan. Tak lupa dengan sebuah handuk yang ia gantungkan di bahu kirinya. Ketika melewati ruang makan yang bersebelahan dengan kamar mandi, matanya melihat Tamara adiknya.
Gadis kecil berseragam putih merah itu tampak melahap nasi berwarna coklat diatas sebuah piring. Dengan seceplok telur dadar diatasnya.
Tamara terlihat tenang tanpa beban. Jauh berbeda dengan dirinya, yang sekarang serba terburu buru. Seperti dikejar setan kalau kata orang-orang. Ditambah Samira, mamanya yang super garang. Mengancamnya tadi. Apa boleh buat? Shea harus menuruti mamanya itu.
Setelah membersihkan diri dan berpakian seragam putih abu-abu dengan rapi. Shea dengan terburu-buru memasukkan buku-bukunya dan segala peralatan sekolahnya, ke dalam ransel biru campur hitamnya. Setelahnya, tak menunggu lama lagi. Shea lalu berlari dengan cepat dan memasang sepasang sepatu hitamnya. Lalu berlari mengejar Samira dan Tamara yang sudah siap untuk berangkat diatas sebuah sepeda motor yang cukup tua.
Shea mengerti mengapa mamanya selalu berusaha menyuruhnya dan adiknya untuk cepat. Tetapi karena tugasnya yang masih menumpuk dan belum selesai. Shea jadinya tak memperdulikan Samira dan Tamara. Shea pikir dirinya sekarang cukup egois. Tetapi bagaimana jadinya dengan tugastugas tadi?.
“Ah, ya sudahlah! Tugasnya nanti saja kulanjutkan di sekolah. Kan masih ada waktu sebelum bel sekolah berbunyi”. Ucapnya dalam hati.
Membutuhkan waktu cukup lama agar Shea dapat sampai di sekolahnya. Jalanan kota sungguh sangat penuh, dikarenakan waktu yang sudah menunjukkan bahwa setiap anak sekolahan hampir masuk. Juga para pekerja yang berkesibukan di pagi hari. 07.25 WIB.
Shea dengan cepat melangkahkan kakinya menuju ruangan kelasnya. Ia setengah berlari. Yang ia pikirkan saat ini adalah tugas-tugasnya. Tinggal 5 menit waktu yang tersisa sebelum bel sekolah bergema. Lagi-lagi Shea harus terburu-buru. Setelah ia memasuki kelasnya, dengan cepat ia mulai membuka resleting ranselnya. Lalu mengambil buku-bukunya dan langsung mengerjakan tugastugasnya dengan cepat.
Tetapi di sela Shea mengerjakannya, ia juga merasa bahwa tugas-tugasnya ini tidak akan selesai dalam jangka waktu 5 menit. Itu sangat singkat.
KRING..KRING..KRING.. Benar saja, bel sekolah SMA Garuda telah berbunyi. Tangannya semakin cepat menulis. Tak Shea hiraukan panggilan-panggilan teman sekelasnya, yang terkadang memanggilnya. Tampaknya sebentar lagi Arini, guru mata pelajaran Sejarahnya akan memasuki kelas.
“Selamat pagi anak-anak.” Sapa seseorang. Tentu saja Shea mengenali suara wanita paruh baya ini. Siapa lagi kalau bukan suara Bu Arini. “Pagi Bu!” jawab teman-teman sekelasnya serempak begitu pula dengan Shea. Arini meletakkan tas selempangnya dan buku bukunya yang ia bawa tadi diatas meja guru. “Seperti biasa, kita berdoa dulu. Siapa yang memimpin?” tanyanya. Kemudian salah satu teman Shea maju dan mulai memimpin doa hingga selesai.
“Ada tugas anak-anak?” Tanya Arini. “Ada bu.” Jawab beberapa siswa. “Baiklah, langsung saja dikumpulkan ya. Bagi yang tidak selesai silahkan maju ke depan.” Ucap Arini tegas. Saat itu juga, Shea membulatkan matanya. Ia baru saja ingat bahwa tugas Sejarahnya belum selesai. Kira-kira beberapa soal lagi. Soal-soal tersebut merupakan soal yang Shea belum dapatkan jawabannya. Jadi ia terpaksa melewati soal-soal tersebut dan memilih untuk menjawab soal-soal lainnya terlebih dahulu. Itupun Shea mengerjakannya tadi pagi, dengan tergesa-gesa.
Mengingat itu, Shea dengan cepat membuka buku tugas Sejarahnya lalu meminta bantuan kepada Kevi untuk memberikan contekan jawaban, agar beberapa soal tersebut selesai. Dengan secepat mungkin, Shea menyalinnya. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah Arini yang sedang menatap. teman-teman sekelasnya. Mereka yang tidak menyelesaikan tugas Sejarah. Melihat itu, tangan Shea semakin cepat menulis.
Mata Kevi bahkan bingung bagaimana cara membaca tulisan Shea yang sekarang bagaikan cakar ayam. Sangat berantakan. Mungkin dikarenakan kecepatan Shea yang meningkat saat menulis sekarang. Kevi meringis melihatnya. Beberapa minggu ini, Kevi sudah memperhatikan kebiasaan buruk Shea yang satu ini. Shea hampir setiap hari mengerjakan tugas yang segera dikumpul saat itu juga di sekolah. Tepatnya di kelas.
“She! Cepetan She! Ntar Bu Arini ngelihat kamu, trus kena marah.” Ucap Kevi mengingatkan Shea. Shea hanya diam. Ia juga cukup malu mendengar perkataan Kevi tadi. Shea merasa bahwa dirinya sekarang pasti sudah dicap buruk oleh teman-teman sekelasnya. Sungguh memalukan. “Iya bentar, Vi.” Jawabnya tanpa melihat Kevi.
Setelah menyelesaikan jawaban dari beberapa nomor, Shea langsung menutup buku tugasnya. Lalu dengan cepat mengantar buku tugasnya ke depan tepatnya diatas meja guru. Dan berada di paling atas dari tumpukan buku tugas teman-temannya.
Shea menghela nafasnya dengan lega. Jika tidak ada bantuan Kevi tadi. Tak tau lagi bagaimana nasib Shea. Mungkin ia akan berakhir dengan dihukum oleh Bu Arini. Diam-diam ia bersyukur dalam hati, bersyukur ada Kevi sebangkunya yang rela memberi contekan kepadanya. Dan itu sudah terhitung beberapa kali. Sebenarnya, Shea merasa tidak enakan ketika meminta tolong kepada Kevi seperti tadi. Tetapi bagaimana lagi, ia tidak memiliki pilihan lain.
Pelajaran Sejarah terus berlanjut, hingga bel pergantian mata pelajaran berbunyi. Sekarang saatnya mata pelajaran Matematika dimulai. Mata pelajaran kedua yang menjadi bagian dari roster pelajaran Shea dan teman sekelasnya untuk hari ini. Namun, Arini belum juga menyelesaikan penjelasannya mengenai materi baru mereka. Arini masih tetap menjelaskan, walaupun ia telah mendengar bel pergantian mata pelajaran tadi.
Shea mulai cemas. Tugas Matematikanya juga belum ia selesaikan. Sementara Arini masih menjelaskan di depan kelas. Padahal rencananya, ia akan mencoba menyelesaikan tugas Matematikanya ketika mata pelajaran Sejarah berganti ke Matematika. Karena terdapat selang waktu beberapa menit ketika pergantian mata pelajaran. Dan guru yang akan segera mengakhiri pembelajaran masing-masing ketika bel telah berbunyi. Tetapi Arini belum juga mengakhirinya seperti biasa.
Kalau begini, bagaimana bisa ia menyelesaikan tugas Matematikanya tepat waktu. Kali ini Shea tidak mau meminta contekan dari Kevi lagi. Terlebih pelajaran Matematika. Dalam hati Shea merasakan penyesalan itu lagi. Begitu sepelenya ia akan waktu. Padahal jika ia mengerjakan tugastugasnya itu dari semalam tanpa menunda-nunda, pasti ia akan duduk tenang seperti teman-temannya yang lain sekarang. Tidak perlu tergesa-gesa dan merasa malu.
Shea rasanya ingin meraih buku tulis Matematikannya, lalu berusaha melanjutkan tugasnya yang belum selesai. Tetapi jika itu yang ia lakukan, maka buku tulis Matematikanya itu pasti akan berakhir di tangan Arini. Jadi untuk apa ia melanjutkannya sekarang. Arini masih berada di ruangan kelas. Tamat riwayat Shea jika ia dengan berani melakukan hal tersebut dan ketahuan oleh Arini.
Shea rasa, Bu Naomi, guru mata pelajaran Matematikanya sedang berjalan menuju kelasnya. Otak Shea memutar dengan cepat. Shea berusaha untuk berpikir bagaimana agar ia tak akan terkena masalah sebentar lagi. Apalagi Naomi merupakan guru ter-killer yang tersohor di SMA Garuda. Dikarenakan beliau yang tak segan-segan akan memberikan surat panggilan orang tua kepada murid yang bermasalah dengannya. Walaupun hanya karena masalah kecil. Membayangkan ia bermasalah dengan Naomi saja, sudah cukup membuatnya bergidik ngeri.
“Baiklah. Tolong tugas tersebut diselesaikan, hari Kamis kita akan periksa bersama-sama. Jika ada yang tidak selesai lagi, maka akan saya suruh melapor ke BK. Selamat siang!” ucap Bu Arini sembari menyandangkan tas nya ke lengan. Lalu berlalu keluar dari kelas. “Selamat siang Bu!” jawab mereka serempak.
Tangan Shea langsung menyambar buku tulis Matematikanya yang berada di dalam laci meja. Dengan asal ia mulai menjawab soal-soal Matematika tersebut. Tidak memperdulikan bagaimana nilainya nanti yang akan ia peroleh. Yang terutama baginya saat ini adalah menyelesaikan tugas tersebut dan mengumpulnya. Agar ia tidak dihukum dan tidak merasa malu dihadapan temantemannya.
“Pagi! Apa ada tugas? Jika ada segera kumpulkan. Saya hitung sampai tiga, jika ada yang belum mengumpul maka tidak usah dikumpul lagi.” Ujar seseorang yang baru saja melangkah memasuki kelas. Teman-teman Shea langsung saja mengumpulkan buku-buku mereka tanpa menunggu lama. Mungkin dikarenakan takut dengan Naomi.
Shea membulatkan matanya, ya ampun ia belum menyelesaikan tugas Matematikanya. Jantung Shea berdegup kencang, ia sangat takut sekarang, juga malu. “Kamu selesaikan, She? Yuk kumpul.” Tanya Kevi, sebangku Shea. Ditanya seperti itu membuat Shea semakin takut saja. Perutnya juga memulas.
“Ak-aku belum selesai, Vi” ucap Shea. “Hah? Terus gimana?” Tanya Kevi khawatir. Hanya gelengan kepala yang Shea berikan. Demi apapun ia sangat takut sekarang. Shea rasanya ingin menghilang saat ini. Mau taruh dimana wajah Shea.
“Hanya ini saja yang tidak selesai? Semua yang duduk memang sudah selesai?” Tanya Naomi tiba-tiba. Sekedar memastikan. “Iya bu!” jawab teman-teman Shea. “Baiklah, jika nanti ada yang ketahuan tidak mengumpul tetapi tetap duduk, akan saya beri hukuman lebih dari mereka ya!” ujar Naomi.
Mendengar itu, Shea semakin khawatir. “Bu! Saya juga belum selesai.” Ujar Shea sembari berdiri, ia lalu berjalan dan berbaris bersama teman-temannya yang juga belum selesai. Melihat itu, Naomi bingung selaras dengan ekspresinya. “Kamu kenapa belum selesai?” Tanya Naomi. Yang ia tau selama ini bahwa Shea adalah murid yang rajin, tanpa absen tugas. Tiba-tiba seperti ini, terasa aneh jadinya.
Shea menunduk. Ia malu ditanya seperti itu. Tetapi tak urung ia menjawab pertanyaan Naomi. “Saya… Saya tidak sempat Bu.” Jawabnya. “Tidak sempat bagaimana?” Tanya Naomi lagi. “Semalam ada banyak tugas Bu, saya jadi tidak sempat mengerjakan tugas Matematika ini.” Jelas Shea. Naomi yang mendengar jawaban itu merasa kesal. Jawaban seperti apa itu.
“Tugas Matematika ini kan sudah saya beri dari seminggu yang lalu! Masa dalam waktu tujuh hari kamu tidak bisa menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas ini?! Yang benar saja!” Tanya Naomi. Shea terdiam mendengarnya. Perkataan Naomi memang sangat benar. Shea sungguh kecewa dengan dirinya sendiri.
“Makanya, kalau ada tugas seperti ini. Dan tugas kalian lumayan banyak, kalian harus bisa mengatur waktu dengan baik! Kan bisa dicicil mengerjakannya sebelum dikumpul. Jangan besok harus dikumpul, hari ini kamu mengerjakannya dengan terburu-buru. Kan yang rugi kamu. Selagi ada waktu luang kamu tidak mengerjakannya. Tetapi saat mendesak, disitu juga kamu memulainya!” Nasihat Naomi kepada Shea.
Lagi-lagi Shea terdiam. “Ya sudah, kalian semua sekarang pergi ke lapangan lalu bersihkan lapangan, setelah nanti seluruh lapangan bersih tidak ada sampah tersisa satu pun, kalian boleh masuk ke kelas. Jika ke depannya diulangi kembali, maka saya akan beri surat panggilan orang tua.” Perintah Naomi tegas, lalu guru berkepala tiga itu memukul kedua ujung jari tangan kanan dan kiri Shea dan temannya yang lain dengan penggaris kayu andalannya. “Baik bu.” Jawab Shea dan teman-temannya.
“Kok kamu belum ngerjain tugas sih, She? Padahal kamu itukan ranking 2 di kelas.” Tanya Laila, salah satu teman sekelas Shea yang juga tidak mengerjakan tugas Matematika. Shea pasti merasa malu. Selain karena ia jadi dicap buruk oleh teman-teman juga gurunya, Shea juga pemegang ranking kedua di kelasnya. Ia rasa kinerjanya semakin hari, semakin menurun. Tak seperti pada saat kelas sepuluh dahulu.
Benar perkataan Samira, mamanya tadi pagi. Ia sungguh pemalas. Jika saja ia bisa mengulang waktu, mungkin kejadian ini tak akan pernah terjadi. Jika saja Shea menuruti nasihat ibunya dari harihari dulu, ia pasti akan menjadi lebih baik. Jika saja Shea mengatur jadwal aktifitasnya setiap hari, jika saja ia dapat menghargai waktu yang ia punya, jika saja, Ah… sungguh banyak kalimat jika saja yang dapat terucap. Namun, jika tanpa perbuatan, sama saja dengan omong kosong belaka.
Hanya kegagalan dan penyesalan. Ingin mengelak dari risiko yang ada, namun tidak ada tempat untuk menghindar barang sejenak. Shea merenungi dirinya yang lalai akan waktu. Ia baru menyadari, bahwasanya setiap detik yang ia punya adalah kesempatan. Kesempatan untuk berbuat, sesuatu yang mengarah ke positif dan berguna.
Di dalam hati, Shea semakin menyesal. Mengapa kemarin ia tidak mengerjakan tugastugasnya. Padahal hari-hari sebelumnya, ia memiliki waktu luang. Tetapi ia hanya bermalas-malasan saja. Membuang waktunya dengan percuma. Mengabaikan segala tanggung jawab yang telah menumpuk. Meminta untuk diselesaikan satu per satu.
Namun, dari kejadian ini, ia bisa belajar. Bahwa pepatah barat“Time is Money” sangatlah berguna. Waktu adalah uang. Shea berpikir, mulai hari ini ia harus menerapkan pepatah itu menjadi prinsip dalam hidupnya dan kesehariannya. Dalam setiap kehidupan, tentu harus memilik tujuan hidup yang pastinya dipondasikan dengan berbagai prinsip pada setiap sisi kehidupan. Salah satunya adalah tentang si waktu.
Karena jika ia menyia-nyiakan waktu yang masih ia miliki, itu berarti ia juga menyia-nyiakan kesempatan yang ia punya. Kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya. Ya, itu benar. Sekarang Shea mengerti mengapa ia tidak dapat mengatur waktunya. Shea selalu saja berleha-leha tanpa memikirkan bahwa tanggung jawab yang ia miliki, belum diselesaikan.
Baiklah, mulai sekarang ia harus bisa mengatur waktunya. 24 jam pasti cukup baginya untuk menyelesaikan segala urusan sekolah dan rumahnya. Shea hanya perlu untuk mengatur jadwal aktifitasnya sehari-hari. Agar ia tidak menjadi malas lagi dan tidak akan kewalahan dalam melakukan dan menuntaskan segala tugasnya.
“Waktu, oh, waktu, jika saja dapat kuulang kembali yang seharusnya tiada pernah terjadi. Namun, biarlah kau tetap berjalan, tanpa henti. Agar akulah yang akan mengaturmu, bukan engkau yang menuntutku mengikutimu.”
0 Komentar